Senin, 26 Mei 2014

Keimanan dan Kepekaan Sosial



Keimanan dan Kepekaan Sosial
Oleh: Fajar Romadhon
            Islam adalah agama amal. Setiap individu muslim yang beriman tidak lagi memikirkan dirinya semata, tetapi memikirkan individu yang lain pula. Amal perbuatan yang dilakukan tidak lagi untuk dirinya, tetapi berusaha untuk memberi kebermanfaatan untuk yang lain. Itulah sebabnya Islam tidak menganjurkan seorang muslim untuk soleh secara pribadi tetapi harus soleh secara sosial juga.
            Islam tidak hanya sebatas ajaran atau gagasan, melainkan Islam harus bisa diejawantahkan dalam amal perbuatan. Begitupun juga dengan iman, tidak dikatakan beriman apabila hanya diucapkan dengan lisan dan diyakini dalam hati tanpa dibuktikan dengan amal perbuatan.
            Islam mengajarkan untuk bersedekah, mengasihi anak yatim, menolong yang lemah dan berbuat baik pada sesama. Hal ini membuktikan bahwa Islam memikirkan hal-hal yang sifatnya sosial. Apabila ada yang berpendapat bahwa Islam tidak lagi bisa menjadi solusi atas masalah-maslah sosial di bangsa ini, itu sebuah kesalahan besar. Al-Qur’an dan sunnah sebenarnya sudah memuat pokok-pokok dari seluruh segmen kehidupan manusia. Terkadang interpretasi dari nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah itu yang belum dipahami oleh kebanyakan orang.
            Agaknya pendapat Ahmad Wahib terkait hal diatas lebih memperjelas, bahwa kalimat Islam cocok di segala zaman akan lebih relevan apabila Islam diinterpretasikan berdasarkan keilmuan bukan berdasar keinginan subjektif.
            Semakin tinggi keimanan seseorang maka akan semakin tinggi pula kepekaan terhadap kondisi sosialnya. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan. Sabda Rasul: “Tidak beriman seseorang apabila membiarkan dirinya kenyang dan tidur nyenyak sedangkan tetangganya kelaparan dan menderita”.
            Seorang intelektual tidak dikatakan sebagai intelektual apabila tidak peka terhadap kondisi sosialnya. Karena seorang intelektual ketika berfikir tak lepas dari pengamatannya terhadap kondisi sosial sekitarnya. Jika Islam adalah agama amal, maka Islam tidak menghendaki perdebatan-perdebatan yang pada akhirnya tidak membuahkan amal perbuatan.
            Kisah KH. Ahmad Dahlan agaknya menjadi representasi yang relevan dari korelasi keimanan dan kepekaan terhadap kondisi sosial. Setiap kali KH. Ahmad Dahlan hendak mengajar, beliau senantiasa membaca surat Al-Ma’un bersama-sama dengan para muridnya. Tak jarang murid-muridnya bertanya kepada KH. Ahmad Dahlan, mengapa harus membaca surat Al-Ma’un?. Itulah Islam yang tidak hanya menyoal masalah ibadah mahdhah, tetapi ibadah ghair mahdhah pula.
            Jika surat Al-Ma’un kita baca artinya, rupanya sangat korelatif sekali antara keislaman seseorang dengan kepekaan terhadap kondisi sosialnya. Islam tidak hanya mengajarkan ibadah-ibadah yang sifatnya vertikal, tetapi memperhatikan ibadah yang horizontal juga. Keislaman dan keimanan seseorang harus proporsional pula dengan kepekaan terhadap kondisi sosialnya. Perhatikan arti dari surat Al-Ma’un ayat 1-7: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Sosok KH. Hasyim Asy'ari