Keimanan dan Kepekaan Sosial
Oleh: Fajar Romadhon
Islam
adalah agama amal. Setiap individu muslim yang beriman tidak lagi memikirkan
dirinya semata, tetapi memikirkan individu yang lain pula. Amal perbuatan yang
dilakukan tidak lagi untuk dirinya, tetapi berusaha untuk memberi
kebermanfaatan untuk yang lain. Itulah sebabnya Islam tidak menganjurkan
seorang muslim untuk soleh secara pribadi tetapi harus soleh secara sosial
juga.
Islam
tidak hanya sebatas ajaran atau gagasan, melainkan Islam harus bisa
diejawantahkan dalam amal perbuatan. Begitupun juga dengan iman, tidak
dikatakan beriman apabila hanya diucapkan dengan lisan dan diyakini dalam hati
tanpa dibuktikan dengan amal perbuatan.
Islam
mengajarkan untuk bersedekah, mengasihi anak yatim, menolong yang lemah dan
berbuat baik pada sesama. Hal ini membuktikan bahwa Islam memikirkan hal-hal
yang sifatnya sosial. Apabila ada yang berpendapat bahwa Islam tidak lagi bisa
menjadi solusi atas masalah-maslah sosial di bangsa ini, itu sebuah kesalahan besar.
Al-Qur’an dan sunnah sebenarnya sudah memuat pokok-pokok dari seluruh segmen
kehidupan manusia. Terkadang interpretasi dari nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah
itu yang belum dipahami oleh kebanyakan orang.
Agaknya
pendapat Ahmad Wahib terkait hal diatas lebih memperjelas, bahwa kalimat Islam
cocok di segala zaman akan lebih relevan apabila Islam diinterpretasikan
berdasarkan keilmuan bukan berdasar keinginan subjektif.
Semakin
tinggi keimanan seseorang maka akan semakin tinggi pula kepekaan terhadap kondisi
sosialnya. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan. Sabda Rasul: “Tidak
beriman seseorang apabila membiarkan dirinya kenyang dan tidur nyenyak
sedangkan tetangganya kelaparan dan menderita”.
Seorang
intelektual tidak dikatakan sebagai intelektual apabila tidak peka terhadap
kondisi sosialnya. Karena seorang intelektual ketika berfikir tak lepas dari
pengamatannya terhadap kondisi sosial sekitarnya. Jika Islam adalah agama amal,
maka Islam tidak menghendaki perdebatan-perdebatan yang pada akhirnya tidak
membuahkan amal perbuatan.
Kisah
KH. Ahmad Dahlan agaknya menjadi representasi yang relevan dari korelasi
keimanan dan kepekaan terhadap kondisi sosial. Setiap kali KH. Ahmad Dahlan
hendak mengajar, beliau senantiasa membaca surat Al-Ma’un bersama-sama dengan
para muridnya. Tak jarang murid-muridnya bertanya kepada KH. Ahmad Dahlan,
mengapa harus membaca surat Al-Ma’un?. Itulah Islam yang tidak hanya menyoal
masalah ibadah mahdhah, tetapi ibadah ghair mahdhah pula.
Jika
surat Al-Ma’un kita baca artinya, rupanya sangat korelatif sekali antara
keislaman seseorang dengan kepekaan terhadap kondisi sosialnya. Islam tidak
hanya mengajarkan ibadah-ibadah yang sifatnya vertikal, tetapi memperhatikan
ibadah yang horizontal juga. Keislaman dan keimanan seseorang harus
proporsional pula dengan kepekaan terhadap kondisi sosialnya. Perhatikan arti
dari surat Al-Ma’un ayat 1-7: “Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang
berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”