Islam Memandang Kepemimpinan
Oleh: Fajar Romadhon
Islam memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang
harus ada. Sebagaimana banyak disebutkan dalam teks Al-Qur’an dan Hadits.
Begitu pun dengan beberapa qaul al-sahabah (perkataan sahabat) yang
menghendaki untuk adanya kepemimpinan. Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa [4]: 59).
Nabi Muhammad secara jelas menyebutkan soal
kepemimpinan dalam salah satu sabdanya, “Setiap orang di antara kalian
adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang
imam adalah pemimpin dan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang
suami adalah pemimpin di tengah keluarganya dan akan dimintai tanggung jawab
atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan ditanya soal
kepemimpinannya. Seorang pelayan/ pegawai juga pemimpin dalam mengurus harta
majikannya dan ia dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya.” (Shahih
Al-Bukhari dari Ibnu Umar r.a. no. 893, 2409, 2558, 2751, 5188, 5200 dan Shahih
Muslim dari Ibnu Umar no. 4724, HR. Tirmidzi; bab al-jihad, HR. Abu Dawud; bab
al-Imarat dan HR. Ahmad; bab al-Iman).
Kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat
terkalahkan dengan keburukan yang terorganisir (Ali bin Abi Thalib). Tiada Islam
melainkan dengan jama’ah, tiada jama’ah melainkan dengan kepemimpinan, dan
tiada kepemimpinan melainkan dengan ketaatan (Abu Bakar al-Shiddiq).
Taat dan patuh kepada Ulil Amri dalam ketentuan-ketentuan
Allah adalah wajib. Ini berdasarkan suruhan supaya kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dalam memecahkan segala persoalan yang diperselisihkan. Karena itu
jika seorang pemimpin memerintahkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya maka seluruh kaum Muslimin wajib mentaati
perintah tersebut. Jika memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak punya hak untuk ditaati dan dipatuhi (Hawwa,
2013: 101).
Pemimpin merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Pemimpin
yang menghayati bahwa hakikat kepemimpinan adalah pertanggung jawaban
diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik
bagi masyarakat luas. Pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan
umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat
atau umat ditinggalkan (Hamzah, 2011: 202).
Urgensi Kepemimpinan
Dalam Islam kepemimpinan sangat urgen
keberadaannya. Urgensi kepemimpinan dapat tergambarkan dalam perkataan al-Afwah
al-Audi’, seorang penyair jahili yang mengatakan:
“Kekacauan tidak akan menyelamatkan manusia
selama tidak ada pemimpin, pemimpin tidak akan ada apabila orang-orang bodoh
berkuasa. Rumah tidak akan berdiri di atas tiang, tiang tidak akan ada apabila
tidak dibangun fondasi. Apabila pondasi, tiang, dan penghuni berkumpul, maka
mereka akan sampai pada tujuan yang dikehendaki.”
Orang-orang
yang pesimis takut jika angin bertiup tidak sesuai dengan arah kapal, sedangkan
orang yang optimis senantiasa berharap angin menjadi tenang. Akan tetapi,
seorang pemimpin dia akan membetulkan letak layarnya agar bisa mengambil
manfaat dari kekuatan angin tersebut (As-Suwaidan & Basyarahil, 2005: 13).
Hakikat Kepemimpinan
Bicara soal kepemimpinan, maka perlu
kiranya untuk melihat lebih dalam apa hakikat kepemimpinan. Menurut Jasiman
(2012: 233-239), beliau memaknai kepemimpinan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan
adalah kepedulian
Pemimpin yang sebenarnya adalah pemimpin
yang lahir dari masyarakat. Ia adalah orang yang prihatin atas situasi dan
kondisi yang melanda masyarakatnya, lantas ia memberikan kepedulian dengan
memberikan advokasi dan pembelaan. Ia adalah orang yang mencintai masyarakat
dan berat hati melihat mereka dalam kesulitan. Ia adalah orang yang dengan
cintanya selalu berusaha mencari solusi atas problematika yang mereka hadapi.
Demikian itulah yang dirasakan oleh Rasulullah, sebagaimana difirmankan oleh
Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).
2. Kepemimpinan
adalah amanah dan tanggung jawab
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk
untuk memimpin suatu lembaga atau institusi maka ia sebenarnya mengemban
tanggung jawab yang besar. Ia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan
manusia dan di hadapan Allah. Jabatan bukan merupakan keistimewaan, apalagi
kalau jabatan itu bukan diberikan kepadanya tapi ia sendiri yang memintanya.
Terlebih buruk lagi apabila kepemimpinan atau jabatan itu ia dapatkan dengan
dan membohongi rakyat melalui money politic-nya. Jadi, seorang pemimpin
atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa dan menuntut di
istimewakan.
3. Kepemimpinan
adalah pengorbanan
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah
untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas
duniawi yang menyenangkan. Sebaliknya, menjadi pemimpin adalah untuk berkorban
lebih banyak bagi kemaslahatan agama, umat, bangsa, dan negaranya. Apalagi
ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit.
4. Kepemimpinan
adalah kerja keras
Ketika seseorang diberi amanah
kepemimpinan, pada saat itu ia dituntut untuk bekerja keras menunaikan tugas
dan tanggung jawab besar yang akan ditanyakan di akhirat nanti, apakah dia
menjaga amanah atau melalaikannya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya Allah akan
menanyakan kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinan yang dibebankan
kepadanya; apakah dia menjaganya atau melalaikannya; hingga seorang laki-laki
akan ditanya tentang anggota keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban).
5. Kepemimpinan
adalah pelayanan
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang
dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan
kewenangan yang besar untuk melayani rakyatnya. Setiap pemimpin harus memiliki
visi dan misi pelayanan bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Atas dasar itu, sebenarnya bukan pada tempatnya apabila
pemimpin itu justru minta dilayani oleh rakyat.
6. Kepemimpinan
adalah keteladanan dan kepeloporan
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang
pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor
yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika
seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya maka ia
telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam
soal materi maka ia tunjukkan kesederhanaannya, bukan malah kemewahan.
Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan
teladan dalam kebaikan dan kebenaran. Sebagaimana ia adalah pelopor dalam
melakukan kebaikan, ia adalah orang yang paling jauh dari keburukan dan
kemungkaran.
Refleksi
Krisis terbesar dunia saat ini adalah
krisis keteladanan. Krisis ini jauh lebih dahsyat dari krisis energi,
kesehatan, pangan, transportasi dan air. Karena dengan absennya pemimpin
visioner, kompeten, dan memiliki integritas yang tinggi maka masalah air, konservasi
hutan, kesehatan, pendidikan, sistem peradilan, dan transport akan semakin
parah. Akibatnya, semakin hari biaya pelayanan kesehatan semakin sulit
terjangkau, manajemen transportasi semakin amburadul, pendidikan semakin
kehilangan nurani welas asih yang berorientasi kepada akhlak mulia, sungai dan air
tanah semakin tercemar dan sampah menumpuk dimana-mana. Ini lah, antara lain
permasalahan yang dialami dunia muslim, termasuk Indonesia (Antonio, 2009: 3).
Indonesia dan dunia Islam saat ini sangat
merindukan pemimpin politik yang memiliki visi, kompetensi dan compassionate
untuk memajukan bangsanya. Indonesia merindukan suri tauladan leadership yang
meyakini bahwa jabatan adalah tanggungjawab dunia akhirat dan bukan kemegahan
serta peluang (opportunity) untuk menambah kekayaan semata dengan apapun
caranya. Pemimpin yang tidak bisa tidur nyenyak karena masih banyak rakyatnya
yang bergizi buruk. Pemimpin yang tidak bisa bercuti panjang karena banyak
Puskesmas dalam keadaan memprihatinkan. Pemimpin yang tidak terlalu nikmat
duduk dalam ruangan ber-AC sementara masih banyak rakyatnya korban longsor,
lumpur dan banjir berada di tenda-tenda pengungsian. Pemimpin yang tidak tega
meminta kenaikan gaji dan fasilitas karena sebagian pegawai PNS gaji pokoknya
tidak lebih besar dari anggaran telepon rumah seorang pejabat di tingkat
kabupaten (Antonio, 2009: 5).
---------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
M. S. (2009). Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager. (C.
Sholehudin, & M. N. Ali, Eds.) Jakarta: Tazkia Publishing.
As-Suwaidan,
T. M., & Basyarahil, F. U. (2005). Melahirkan Pemimpin Masa Depan.
(A. Anggoro, Ed., & Habiburrahman, Trans.) Jakarta.
Hamzah,
F. (2011). Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan.
(E. Wijayanto, Ed.) Jakarta: Faham Indonesia.
Hawwa, S.
(2013). Al-Islam. (T. I'tishom, Ed., F. N. Syam, & M. Dhofir,
Trans.) Jakarta Timur: Al-I'tishom.
Jasiman.
(2012). Rijalud Daulah. (A. Ghufron, Ed.) Solo: Era Adicitra Intermedia.
wow
BalasHapus