Bijak Menilai Sejarah dan Realita
Keindonesiaan
Oleh: Fajar Romadhon
Salah
satu ciri bangsa Indonesia adalah heterogenitasnya. Kaya akan budaya, ideologi,
agama, suku, ras, adat, mazhab, etnis, dan partai. Menjadi anugerah ketika
heterogenitas tersebut saling sinergis dan harmoni. Seperti pelangi yang selalu
menampakkan keindahan dan keanggunannya.
Namun,
pelangi indah itu belum nampak di bumi Indonesia ini. Heterogenitas itu menjadi
ajang fanatisme dan primordialistik. Rasa saling curiga dan apriori terhadap
sesuatu yang diluar golongannya menjadi pembias warna pelangi Indonesia. Tak
jelas warnanya, karena belum menemukan titik terangnya.
Miris
ketika menyaksikan partai politik dan supporter sepakbola yang saling
serang, padahal masih satu bangsa. Fanatisme ormas atau mazhab yang menimbulkan
perilaku saling menghina. Perbedaan ideologi yang semakin primordial dan banyak
menimbulkan pergolakan pemikiran dan polemik bahkan sampai dendam kesumat. Persatuan
dan persaudaraan bangsa ini serasa terkotak-kotakan dengan perbedaan-perbedaan
tadi. Adagium “bhineka tunggal ika” seakan hanya jargon kosong tanpa ruh. Bangsa
ini seperti kehilangan jati dirinya dan sepertinya masyarakat kita mesti
menengok kembali sejarah bangsanya.
Internalisasi sejarah
Perlu
disadari bahwa Indonesia terlahir dari semangat gotong royong dan solidaritas
yang tinggi antar masyarakatnya. Begitupula Anis Matta pernah mengatakan bahwa
jika kita bedah Indonesia pada hari kelahirannya, maka kita akan temukan bahwa
nilai terdalamnya adalah solidaritas. Terbukti, bahwa masa penjajahan telah
membentuk emosi yang sama diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Karena
dahulu, kekuatan bangsa ini ada pada kerajaan-kerajaan yang terpisah satu sama
lain. Kerajaan-kerajaan ini mulai sadar bahwa melawan penjajah tidak lagi bisa
dilakukan hanya dengan satu kekuatan kerajaan. Mereka butuh upaya kolektif
untuk bersama melawan penjajah. Kesadaran dan emosi yang yang sama telah
mempertautkan berbagai kekuatan yang ada di nusantara ini dan bertumbuh dari
etnis menjadi sebuah bangsa.
Selain
itu, jauh sebelum merdeka- bangsa ini dihadirkan dengan peristiwa sumpah
pemuda. Peristiwa yang menjadi salah satu catatan sejarah yang tidak boleh
terlupakan oleh generasi Indonesia masa depan. Karena peristiwa ini telah
memberikan ruh dalam catatan sejarah bangsa ini. Peristiwa sumpah pemuda
menjadi ajang bahwa bangsa ini membutuhkan identitas yang sama demi
eksistensinya. Walaupun mereka berbeda-beda suku, ras, etnis, dan agama. Tetapi
mereka tidak lagi berfikir promordial melainkan colective mind. Berikut
penggalan sumpah pemuda:
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, bertanah air
satu tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, berbangsa
satu bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, berbahasa
satu bahasa Indonesia
Founding Father bangsa ini sejatinya
mencita-citakan kedamaian, keharmonisan, persatuan dan kesatuan Indonesia. Kita
mengenal salah satu founding father bangsa ini, yakni Muhammad Natsir.
Sejarah tidak akan mungkin menghapuskan jasa besar M. Natsir dalam memulihkan
Republik Indonesia ini menjadi Negara kesatuan melalui gagasan cerdasnya, yakni
mosi integral Natsir. Muhammad Natsir berhasil dalam mengembalikan persatuan
dan kesatuan NKRI dengan cara-cara yang sangat terhormat dan bermartabat.
Membaca
sejarah bukan berarti kita ingin lari ke masa lalu, melainkan dengan sejarah
kita bisa mengambil hikmah untuk bekal masa depan. Salah satu jalan agar bangsa
ini menjadi besar adalah dengan menghargai dan menilai dengan bijak sejarah
masa lalunya.
Optimalisasi budaya ilmiah
Jika
kita bijak dalam menilai sejarah bahkan realita sekarang di Indonesia, maka unsur-unsur
heterogenitas, tidak lagi menjadi masalah. Malahan heterogenitas menjadi suatu
keniscayaan. Bahkan untuk mengelola bangsa sebesar ini pun tidak bisa dikelola
oleh satu partai saja. Artinya kita perlu mengelola bangsa ini bersama-sama,
walaupun berbeda-beda identitasnya.
Kunci
permasalahannya, ada pada bagaimana kita berkomunikasi, karena komunikasi suatu
hal yang sering kita lakukan sebagai makhluk sosial. Namun, komunikasi yang
tidak efektif akan memicu konflik atau polemik yang kadang tidak produktif.
Muhsin Hariyanto dalam kajian tafsir tematiknya tentang prinsip-prinsip
komunikasi dalam Islam mengatakan bahwa dengan komunikasi kita dapat membentuk
saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang,
menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan
komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan
permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat
pemikiran.
Komunikasi
yang beradab dan bermartabat bisa dilakukan melalui penguatan budaya ilmiah
dalam dunia pendidikan. Karena kapasitas keilmuanlah yang akan membuat
seseorang bijak dalam menilai segala sesuatunya termasuk realita Indonesia
sekarang.
Solusi
yang paling tepat atas masalah-masalah yang ada di Indonesia adalah
optimalisasi pendidikan dan tingkatkan budaya keilmuan. Mungkin teori
Jalaluddin Rakhmat yang agak tepat atas hal ini. Bahwa pendidikan yang memiliki
mutu akan menghasilkan kualitas SDM yang mampu produktif dalam segala hal, dan
hal ini akan berimbas pada tingkat pendapatannya. Term-term ini juga saling
berkesinambungan, seperti halnya satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kata kuncinya; pendidikan-kualitas SDM-produktivitas-pendapatan. Itu semua sirkulatif.
Internalisasi
sejarah dengan bijak yang kemudian dikonversikan dengan realita sekarang serta
peningkatan budaya ilmiah/ keilmuan akan menunjang suatu komunikasi beradab dan
bermartabat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar