Jumat, 19 Desember 2014

Bijak Menilai Sejarah dan Realita Keindonesiaan


Bijak Menilai Sejarah dan Realita Keindonesiaan
Oleh: Fajar Romadhon

            Salah satu ciri bangsa Indonesia adalah heterogenitasnya. Kaya akan budaya, ideologi, agama, suku, ras, adat, mazhab, etnis, dan partai. Menjadi anugerah ketika heterogenitas tersebut saling sinergis dan harmoni. Seperti pelangi yang selalu menampakkan keindahan dan keanggunannya.
            Namun, pelangi indah itu belum nampak di bumi Indonesia ini. Heterogenitas itu menjadi ajang fanatisme dan primordialistik. Rasa saling curiga dan apriori terhadap sesuatu yang diluar golongannya menjadi pembias warna pelangi Indonesia. Tak jelas warnanya, karena belum menemukan titik terangnya.
            Miris ketika menyaksikan partai politik dan supporter sepakbola yang saling serang, padahal masih satu bangsa. Fanatisme ormas atau mazhab yang menimbulkan perilaku saling menghina. Perbedaan ideologi yang semakin primordial dan banyak menimbulkan pergolakan pemikiran dan polemik bahkan sampai dendam kesumat. Persatuan dan persaudaraan bangsa ini serasa terkotak-kotakan dengan perbedaan-perbedaan tadi. Adagium “bhineka tunggal ika” seakan hanya jargon kosong tanpa ruh. Bangsa ini seperti kehilangan jati dirinya dan sepertinya masyarakat kita mesti menengok kembali sejarah bangsanya.

Internalisasi sejarah
            Perlu disadari bahwa Indonesia terlahir dari semangat gotong royong dan solidaritas yang tinggi antar masyarakatnya. Begitupula Anis Matta pernah mengatakan bahwa jika kita bedah Indonesia pada hari kelahirannya, maka kita akan temukan bahwa nilai terdalamnya adalah solidaritas. Terbukti, bahwa masa penjajahan telah membentuk emosi yang sama diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Karena dahulu, kekuatan bangsa ini ada pada kerajaan-kerajaan yang terpisah satu sama lain. Kerajaan-kerajaan ini mulai sadar bahwa melawan penjajah tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan satu kekuatan kerajaan. Mereka butuh upaya kolektif untuk bersama melawan penjajah. Kesadaran dan emosi yang yang sama telah mempertautkan berbagai kekuatan yang ada di nusantara ini dan bertumbuh dari etnis menjadi sebuah bangsa.
            Selain itu, jauh sebelum merdeka- bangsa ini dihadirkan dengan peristiwa sumpah pemuda. Peristiwa yang menjadi salah satu catatan sejarah yang tidak boleh terlupakan oleh generasi Indonesia masa depan. Karena peristiwa ini telah memberikan ruh dalam catatan sejarah bangsa ini. Peristiwa sumpah pemuda menjadi ajang bahwa bangsa ini membutuhkan identitas yang sama demi eksistensinya. Walaupun mereka berbeda-beda suku, ras, etnis, dan agama. Tetapi mereka tidak lagi berfikir promordial melainkan colective mind. Berikut penggalan sumpah pemuda:
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa Indonesia
             Founding Father bangsa ini sejatinya mencita-citakan kedamaian, keharmonisan, persatuan dan kesatuan Indonesia. Kita mengenal salah satu founding father bangsa ini, yakni Muhammad Natsir. Sejarah tidak akan mungkin menghapuskan jasa besar M. Natsir dalam memulihkan Republik Indonesia ini menjadi Negara kesatuan melalui gagasan cerdasnya, yakni mosi integral Natsir. Muhammad Natsir berhasil dalam mengembalikan persatuan dan kesatuan NKRI dengan cara-cara yang sangat terhormat dan bermartabat.
            Membaca sejarah bukan berarti kita ingin lari ke masa lalu, melainkan dengan sejarah kita bisa mengambil hikmah untuk bekal masa depan. Salah satu jalan agar bangsa ini menjadi besar adalah dengan menghargai dan menilai dengan bijak sejarah masa lalunya.

Optimalisasi budaya ilmiah
            Jika kita bijak dalam menilai sejarah bahkan realita sekarang di Indonesia, maka unsur-unsur heterogenitas, tidak lagi menjadi masalah. Malahan heterogenitas menjadi suatu keniscayaan. Bahkan untuk mengelola bangsa sebesar ini pun tidak bisa dikelola oleh satu partai saja. Artinya kita perlu mengelola bangsa ini bersama-sama, walaupun berbeda-beda identitasnya.
            Kunci permasalahannya, ada pada bagaimana kita berkomunikasi, karena komunikasi suatu hal yang sering kita lakukan sebagai makhluk sosial. Namun, komunikasi yang tidak efektif akan memicu konflik atau polemik yang kadang tidak produktif. Muhsin Hariyanto dalam kajian tafsir tematiknya tentang prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam mengatakan bahwa dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.
            Komunikasi yang beradab dan bermartabat bisa dilakukan melalui penguatan budaya ilmiah dalam dunia pendidikan. Karena kapasitas keilmuanlah yang akan membuat seseorang bijak dalam menilai segala sesuatunya termasuk realita Indonesia sekarang.
            Solusi yang paling tepat atas masalah-masalah yang ada di Indonesia adalah optimalisasi pendidikan dan tingkatkan budaya keilmuan. Mungkin teori Jalaluddin Rakhmat yang agak tepat atas hal ini. Bahwa pendidikan yang memiliki mutu akan menghasilkan kualitas SDM yang mampu produktif dalam segala hal, dan hal ini akan berimbas pada tingkat pendapatannya. Term-term ini juga saling berkesinambungan, seperti halnya satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kata kuncinya; pendidikan-kualitas SDM-produktivitas-pendapatan. Itu semua sirkulatif.
        Internalisasi sejarah dengan bijak yang kemudian dikonversikan dengan realita sekarang serta peningkatan budaya ilmiah/ keilmuan akan menunjang suatu komunikasi beradab dan bermartabat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sosok KH. Hasyim Asy'ari