Jumat, 19 Desember 2014

Problematika Umat Kontemporer


Problematika Umat Kontemporer
Oleh: Fajar Romadhon

Kondisi Historis Umat Islam
            Menurut Abul A’la al-Maududi, sebagaimana dikutip oleh Raswad (2009: 31) bahwa beliau mengklasifikasikan sejarah Islam dan umat Islam menjadi lima fase, yaitu masa ideal, masa kerajaan, masa penjajahan, masa kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan. Masing-masing fase memiliki latar belakang dan pengaruh bagi dunia Islam.
Masa Ideal
            Masa ideal ditandai dengan terjadinya revolusi peradaban, dari peradaban jahiliyah menjadi peradaban Islam. Rasulullah sukses membangun masyarakat tauhid. Tauhid loyalitas, tauhid sistem hidup, tauhid kepemimpinan dan tauhid ummah. Fase ini berjalan sampai berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin.
Masa Kerajaan
            Setelah itu Islam dan umat Islam melewati masa kerajaan; sejak berdirinya Dinasti Umawiyah hingga berakhirnya Dinasti Fathimiyah di Turki. Fase ini ditandai dengan terpecahnya kepemimpinan, terpecahnya loyalitas, lemah pemahaman dan penjiwaan ajaran Islam, Kontribusi budaya kedaerahan kedalam syariat Islam, lemahnya pendidikan, lahirnya ananiyah dan ashabiyah, kebangkitan Barat dan bergantinya sistem pendidikan. Dari pendidikan Islam yang universal dan integral menjadi dikotomi pendidikan; pendidikan umum dan pendidikan agama, dan parsialisasi pendidikan; penyadaran intelektual dipisahkan dari penyadaran moral.
            Kondisi fase ini menggiring Islam dan umat Islam memasuki masa penjajahan. Akibat yang terjadi pada fase ini terjadinya pergantian kepemimpinan, pembodohan umat Islam, umat Islam bekerja untuk tuan baru dan kemudian wilayah umat Islam dibagi-bagi oleh penjajah berdasarkan ras.
Masa Kemerdekaan
            Kemudian Islam dan umat Islam dipaksa memasuki fase kemerdekaan ala penjajah. Yakni kemerdekaan berdasarkan ras, nasionalisme, kemerdekaan parsial. Dan ketika itu tidak ada lagi Islam, yang ada adalah bangsa-bangsa muslim yang merdeka.
Masa Pasca Kemerdekaan
            Akhirnya sampailah Islam dan umat Islam pada kondisi pasca kemerdekaan, yang seyogyanya akan menemukan jati diri. Tetapi karena kemerdekaan yang dimaksud adalah rekayasa penjajah, maka akibatnya umat Islam tidak kenal apa itu kemerdekaan dan apa Islam. Kalaupun ada sementara orang mengaku bahagia dari Islam dan merasa prihatin terhadap kondisi yang melilit, kemudian berupaya untuk bangkit mengejar ketertinggalan, mereka terkena penyakit bingung pesimistis, sehingga lahir suatu anggapan bahwa tidak ada kemajuan Islam tanpa Barat.
            Dalam kondisi seperti ini, sementara mereka ada yang berteriak dan bangkit dengan gagasan pembaruan Islam. Sayangnya yang dimaksud dengan pembaruan oleh mereka adalah pembaratan nilai-nilai Islam (westernisasi).

Faktor Penyebab Problematika Umat Islam
            Dari uraian kondisi historis umat Islam diatas diperoleh asumsi bahwa umat Islam berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Keadaan seperti ini tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya.
            Diantara faktor internal yang mempengaruhinya adalah: (1) Jauh dari kitab Allah dan Sunnah Rasul, (2) Juziyah iman (parsial terhadap wahyu), (3) Terperdaya oleh sistem hidup non-Islam, (4) Penyelewengan maksud Al-Qur’an, (5) Menghindar dari Al-Qur’an, (6) Hilangnya ruh Jihad; daya juang, (7) Hilangnya solidaritas dan kebersamaan, (8) Terpecah belah, (9) Terbelakang, (10) Taqlid (ikut-ikutan). Sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya kekuatan Internasional yang bersama-sama memusuhi Islam, seperti halnya Zionisme dan gerakan pemurtadan (Raswad, 2009: 33-44).

Kekeliruan Konsepsi Keilmuan Islam
            Di dalam majalah ISLAMIA edisi ke 5/ 2005, yang membahas tentang “Epistemologi Islam”, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam (Islamic thought) dan guru besar tamu di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) menguraikan bahaya kekeliruan dan kejahilan dalam ilmu. Menurut konsepsi Islam tentang kejahilan seperti diuraikan Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan Al-‘Arab, bahwa kejahilan itu terdiri daripada dua jenis. Pertama, kejahilan yang ringan, yaitu kurangnya ilmu tentang apa yang seharusnya diketahui; dan kedua, kejahilan yang berat, yakni keyakinan salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realita, meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya. Jelaslah bahwa kejahilan dalam kedua konteks di atas adalah penyebab utama terjadinya kesalahan, kekurangan, atau kejahatan manusia. Kejahilan yang ringan dapat dengan mudah diobati dengan pengajaran biasa ataupun pendidikan, tetapi kejahilan yang berat, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan akhlak individu dan masyarakat. Sebab, kejahilan jenis ini bersumber dari diri rohani yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran (Husaini, 2006: 45-46).
            Kekeliruan konsep ilmu inilah yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab. Kemudian juga, bahwa kekeliruan konsepsi ilmu akan berdampak negatif terhadap kepribadian dan bahkan tatanan kehidupan masyarakat. Al-Attas (2010: 132) menyebutkan dampak dari kekeliruan konsepsi ilmu, yang sifatnya sirkulatif, berikut penjelasannya:
a.    Kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu yang menyebabkan keadaan:
b.    Kehilangan adab di kalangan umat. Keadaan yang timbul dari (a) dan (b) adalah:
c.    Kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak layak untuk kepemimpinan yang sah bagi umat Islam, yang tidak memiliki taraf moral, intelektual dan spiritualitas yang tinggi yang disyaratkan untuk kepemimpinan Islam, yang melestarikan keadaan pada (a) di atas dan menjamin penguasaan urusan umat yang berkelanjutan oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai semua bidang.
             Kekeliruan dalam konsepsi keilmuan Islam tersebut menimbulkan keanehan dan kesesatan. Seperti dikatakan oleh Adian Husaini bahwa, dari kampus-kampus berlabel Islam bermunculan pemikiran dan gerakan aneh. Dari IAIN Bandung, muncul teriakn yang menghebohkan, “selamat bergabung di area bebas Tuhan.” Tahun 2004, IAIN Yogyakarta membuat sejarah baru dalam tradisi keilmuan Islam, dengan meluluskan sebuah tesis master yang menyerang kesucian dan otentisitas Al-Qur’an. Dari fakultas Syariah IAIN Semarang, lahir jurnal yang menyerang Al-Qur’an dan memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual. Pluralisme agama dan relativisme kebenaran- paham syirik modern yang menyerukan kebenaran semua agama- justru disebarkan dan diajarkan di lingkungan perguruan tinggi Islam. Dari UIN Jakarta, sejumlah dosennya justru menjadi pendukung gerakan perkawinan antaragama. Hal ini menjadi produk dari kekeliruan konsepsi keilmuan Islam.

Menghidupkan Tradisi Keilmuan
            Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi tradisi ilmu dan sangat menghargai ilmu. Suatu saat Sayyidina Ali didatangi beberapa orang dan menanyakan manakala yang lebih mulia ilmu atau harta. Ali menjawab: “Lebih mulia ilmu”. Ilmu menjagamu, harta kamu harus menjaganya. Ilmu bila kamu berikan bertambah, harta berkurang. Ilmu warisan para Nabi, harta warisan Firaun dan Qarun. Ilmu menjadikan bersatu, harta bisa membuat kamu berpecah belah dan seterusnya (Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, 2012: 110).
            Al-Ghazali dalam Husaini (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, 2012: 106) menjelaskan bahwa untuk meraih kemuliaan haruslah didasari dengan ilmu. Dengan ilmu, manusia tahu jalan yang mendaki; ia tahu bagaimana cara mendakinya; tahu bagaimana mengatasi halangan dan rintangan; dan tatkala suatu ketika dia tergelincir, dia pun tahu, bagaimana dia harus bangkit lagi, dan mendaki lagi menuju puncak taqwa dan bahagia. Sebab, dia yakin, bahwa di puncak sana, dia akan meraih bahagia, bisa semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pemilik alam semesta. Karena itu, ilmu harus senantiasa tersedia; dalam kondisi apa pun. Tak heran, jika Islam begitu kuatnya mendorong umatnya agar tak pernah berhenti mengejar ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, S. M. (2010). Islam dan Sekularisme. (K. Muammar, Ed.) Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Husaini, A. (2006). Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. (N. Hidayat, Ed.) Jakarta: Gema Insani.
Husaini, A. (2012). Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab. (N. Hidayat, Ed.) Jakarta: Cakrawala Publishing.

Raswad, M. (2009). Gerakan Pemurtadan dan Antisipasi. (T. P.-U. Wutsqo, Ed.) Indramayu: Pustaka Al-Urwatul Wutsqo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sosok KH. Hasyim Asy'ari