Problematika Umat Kontemporer
Oleh: Fajar Romadhon
Kondisi Historis Umat Islam
Menurut
Abul A’la al-Maududi, sebagaimana dikutip oleh Raswad (2009: 31) bahwa beliau
mengklasifikasikan sejarah Islam dan umat Islam menjadi lima fase, yaitu masa
ideal, masa kerajaan, masa penjajahan, masa kemerdekaan dan masa pasca
kemerdekaan. Masing-masing fase memiliki latar belakang dan pengaruh bagi dunia
Islam.
Masa Ideal
Masa
ideal ditandai dengan terjadinya revolusi peradaban, dari peradaban jahiliyah
menjadi peradaban Islam. Rasulullah sukses membangun masyarakat tauhid. Tauhid
loyalitas, tauhid sistem hidup, tauhid kepemimpinan dan tauhid ummah. Fase ini
berjalan sampai berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin.
Masa Kerajaan
Setelah
itu Islam dan umat Islam melewati masa kerajaan; sejak berdirinya Dinasti
Umawiyah hingga berakhirnya Dinasti Fathimiyah di Turki. Fase ini ditandai
dengan terpecahnya kepemimpinan, terpecahnya loyalitas, lemah pemahaman dan
penjiwaan ajaran Islam, Kontribusi budaya kedaerahan kedalam syariat Islam,
lemahnya pendidikan, lahirnya ananiyah dan ashabiyah, kebangkitan Barat dan
bergantinya sistem pendidikan. Dari pendidikan Islam yang universal dan
integral menjadi dikotomi pendidikan; pendidikan umum dan pendidikan agama, dan
parsialisasi pendidikan; penyadaran intelektual dipisahkan dari penyadaran
moral.
Kondisi
fase ini menggiring Islam dan umat Islam memasuki masa penjajahan. Akibat yang
terjadi pada fase ini terjadinya pergantian kepemimpinan, pembodohan umat
Islam, umat Islam bekerja untuk tuan baru dan kemudian wilayah umat Islam
dibagi-bagi oleh penjajah berdasarkan ras.
Masa Kemerdekaan
Kemudian
Islam dan umat Islam dipaksa memasuki fase kemerdekaan ala penjajah. Yakni
kemerdekaan berdasarkan ras, nasionalisme, kemerdekaan parsial. Dan ketika itu
tidak ada lagi Islam, yang ada adalah bangsa-bangsa muslim yang merdeka.
Masa Pasca Kemerdekaan
Akhirnya
sampailah Islam dan umat Islam pada kondisi pasca kemerdekaan, yang seyogyanya
akan menemukan jati diri. Tetapi karena kemerdekaan yang dimaksud adalah
rekayasa penjajah, maka akibatnya umat Islam tidak kenal apa itu kemerdekaan
dan apa Islam. Kalaupun ada sementara orang mengaku bahagia dari Islam dan
merasa prihatin terhadap kondisi yang melilit, kemudian berupaya untuk bangkit
mengejar ketertinggalan, mereka terkena penyakit bingung pesimistis, sehingga
lahir suatu anggapan bahwa tidak ada kemajuan Islam tanpa Barat.
Dalam
kondisi seperti ini, sementara mereka ada yang berteriak dan bangkit dengan
gagasan pembaruan Islam. Sayangnya yang dimaksud dengan pembaruan oleh mereka
adalah pembaratan nilai-nilai Islam (westernisasi).
Faktor Penyebab Problematika Umat Islam
Dari
uraian kondisi historis umat Islam diatas diperoleh asumsi bahwa umat Islam
berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Keadaan seperti ini tidak
terlepas dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya.
Diantara
faktor internal yang mempengaruhinya adalah: (1) Jauh dari kitab Allah dan
Sunnah Rasul, (2) Juziyah iman (parsial terhadap wahyu), (3) Terperdaya
oleh sistem hidup non-Islam, (4) Penyelewengan maksud Al-Qur’an, (5) Menghindar
dari Al-Qur’an, (6) Hilangnya ruh Jihad; daya juang, (7) Hilangnya solidaritas
dan kebersamaan, (8) Terpecah belah, (9) Terbelakang, (10) Taqlid
(ikut-ikutan). Sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya kekuatan
Internasional yang bersama-sama memusuhi Islam, seperti halnya Zionisme dan
gerakan pemurtadan (Raswad, 2009: 33-44).
Kekeliruan Konsepsi Keilmuan Islam
Di
dalam majalah ISLAMIA edisi ke 5/ 2005, yang membahas tentang “Epistemologi
Islam”, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam (Islamic thought)
dan guru besar tamu di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) menguraikan bahaya
kekeliruan dan kejahilan dalam ilmu. Menurut konsepsi Islam tentang kejahilan
seperti diuraikan Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan Al-‘Arab, bahwa
kejahilan itu terdiri daripada dua jenis. Pertama, kejahilan yang
ringan, yaitu kurangnya ilmu tentang apa yang seharusnya diketahui; dan kedua,
kejahilan yang berat, yakni keyakinan salah yang bertentangan dengan fakta
ataupun realita, meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri,
ataupun melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya.
Jelaslah bahwa kejahilan dalam kedua konteks di atas adalah penyebab utama
terjadinya kesalahan, kekurangan, atau kejahatan manusia. Kejahilan yang ringan
dapat dengan mudah diobati dengan pengajaran biasa ataupun pendidikan, tetapi
kejahilan yang berat, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan
keilmuan, keagamaan, dan akhlak individu dan masyarakat. Sebab, kejahilan jenis
ini bersumber dari diri rohani yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan
sikap penolakan terhadap kebenaran (Husaini, 2006: 45-46).
Kekeliruan
konsep ilmu inilah yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab.
Kemudian juga, bahwa kekeliruan konsepsi ilmu akan berdampak negatif terhadap
kepribadian dan bahkan tatanan kehidupan masyarakat. Al-Attas (2010: 132) menyebutkan
dampak dari kekeliruan konsepsi ilmu, yang sifatnya sirkulatif, berikut
penjelasannya:
a. Kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu yang
menyebabkan keadaan:
b. Kehilangan adab di kalangan umat. Keadaan
yang timbul dari (a) dan (b) adalah:
c. Kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak
layak untuk kepemimpinan yang sah bagi umat Islam, yang tidak memiliki taraf
moral, intelektual dan spiritualitas yang tinggi yang disyaratkan untuk
kepemimpinan Islam, yang melestarikan keadaan pada (a) di atas dan menjamin
penguasaan urusan umat yang berkelanjutan oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka
yang menguasai semua bidang.
Kekeliruan dalam konsepsi keilmuan Islam
tersebut menimbulkan keanehan dan kesesatan. Seperti dikatakan oleh Adian
Husaini bahwa, dari kampus-kampus berlabel Islam bermunculan pemikiran dan
gerakan aneh. Dari IAIN Bandung, muncul teriakn yang menghebohkan, “selamat
bergabung di area bebas Tuhan.” Tahun 2004, IAIN Yogyakarta membuat sejarah
baru dalam tradisi keilmuan Islam, dengan meluluskan sebuah tesis master yang
menyerang kesucian dan otentisitas Al-Qur’an. Dari fakultas Syariah IAIN
Semarang, lahir jurnal yang menyerang Al-Qur’an dan memperjuangkan legalisasi
perkawinan homoseksual. Pluralisme agama dan relativisme kebenaran- paham
syirik modern yang menyerukan kebenaran semua agama- justru disebarkan dan
diajarkan di lingkungan perguruan tinggi Islam. Dari UIN Jakarta, sejumlah
dosennya justru menjadi pendukung gerakan perkawinan antaragama. Hal ini
menjadi produk dari kekeliruan konsepsi keilmuan Islam.
Menghidupkan Tradisi Keilmuan
Islam
adalah agama yang sangat menjunjung tinggi tradisi ilmu dan sangat menghargai
ilmu. Suatu saat Sayyidina Ali didatangi beberapa orang dan menanyakan manakala
yang lebih mulia ilmu atau harta. Ali menjawab: “Lebih mulia ilmu”. Ilmu
menjagamu, harta kamu harus menjaganya. Ilmu bila kamu berikan bertambah, harta
berkurang. Ilmu warisan para Nabi, harta warisan Firaun dan Qarun. Ilmu
menjadikan bersatu, harta bisa membuat kamu berpecah belah dan seterusnya (Husaini,
Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, 2012: 110).
Al-Ghazali
dalam Husaini (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab,
2012: 106) menjelaskan bahwa untuk meraih kemuliaan haruslah didasari dengan
ilmu. Dengan ilmu, manusia tahu jalan yang mendaki; ia tahu bagaimana cara
mendakinya; tahu bagaimana mengatasi halangan dan rintangan; dan tatkala suatu
ketika dia tergelincir, dia pun tahu, bagaimana dia harus bangkit lagi, dan
mendaki lagi menuju puncak taqwa dan bahagia. Sebab, dia yakin, bahwa di puncak
sana, dia akan meraih bahagia, bisa semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa,
Pencipta dan Pemilik alam semesta. Karena itu, ilmu harus senantiasa tersedia;
dalam kondisi apa pun. Tak heran, jika Islam begitu kuatnya mendorong umatnya
agar tak pernah berhenti mengejar ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, S. M. (2010). Islam dan Sekularisme. (K. Muammar,
Ed.) Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Husaini,
A. (2006). Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi.
(N. Hidayat, Ed.) Jakarta: Gema Insani.
Husaini,
A. (2012). Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab.
(N. Hidayat, Ed.) Jakarta: Cakrawala Publishing.
Raswad,
M. (2009). Gerakan Pemurtadan dan Antisipasi. (T. P.-U. Wutsqo, Ed.)
Indramayu: Pustaka Al-Urwatul Wutsqo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar