Selasa, 27 Januari 2015

Sosok KH. Hasyim Asy'ari


Sosok KH. Hasyim Asy’ari
Oleh: Fajar Romadhon

KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama besar dan pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), beliau sangat disegani oleh ulama-ulama yang ada di Nusantara. Karena kesahajaan dan akhlak beliau yang begitu luhur. Bahkan Kholil (2013: 81) menuturkan bahwa pada saat itu Hasyim Asy’ari menjadi “kiblat” para kiai, yang pada akhirnya berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama. Hasyim Asy’ari lahir 24 Dzul Qaidah 1287 H, atau 14 Februari 1871 M.

Hasyim Asy’ari dan Pendidikan
            Dalam sebuah novel yang berjudul “Penakluk Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari” karya Aguk Irawan, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa Hasyim Asy’ari dalam pendidikan merupakan sosok revolusioner dan pembela wong cilik. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau untuk mendirikan lembaga pendidikan pesantren di tempat yang jauh dari peradaban, karena beliau memiliki pandangan bahwa pendidikan harus banyak diberikan kepada orang yang masih jauh dari peradaban dan kebudayaan adiluhung. Walaupun gagasan ini banyak ditentang oleh para Kiai yang lain, namun Hasyim Asy’ari tetap dalam konsistensi idealisme gagasannya.
            Kemudian Hasyim Asy’ari memandang bahwa keberhasilan proses belajar-mengajar tidak lepas dari pendidikan akhlak/ moralitas. Menurut Hasyim Asy’ari, moralitas merupakan fondasi yang utama dalam pembentukan pribadi anak didik yang seutuhnya. Dengan demikian, pendidikan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki akhlak yang baik merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab hal ini akan melandasi kestabilan secara keseluruhan (Noor, 2010: 79).
            Hemat penulis, mungkin dengan worldview (pandangan) seperti itulah yang melatar belakangi Hasyim Asy’ari menulis sebuah kitab yang sangat fenomenal dan masih menjadi rujukan dalam pendidikan, yaitu kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. Sebuah kitab yang terdiri dari delapan bab ini jika diklasifikasikan akan menjadi tiga bagian, yaitu: kelebihan ilmu dan ilmuwan, tanggungjawab dan tugas peserta didik, serta tanggungjawab dan tugas pendidik.

Hasyim Asy’ari dan Kegiatan Sosial-Ekonomi
            Dikatakan pula oleh Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, dalam kata pengantar novel berjudul “Penakluk Badai: Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari” bahwa pembelaan Hasyim Asy’ari terhadap masyarakat pada tingkat “grassroots” tidak hanya dalam dunia pendidikan. Ranah ekonomi juga dirambah oleh Hasyim Asy’ari guna meningkatkan kualitas umat Islam. Pada tahun 1919, ketika booming informasi dan wacana tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi di tengah-tengah masyarakat, maka Hasyim Asy’ari tampil dengan gagasan briliannya. Beliau bekerja sangat aktif dan produktif untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas perekonomian umat Islam. Pada tahap berikutnya terbentuklah sebuah badan organisasi semacam koperasi yang disebutnya dengan “Syirkatul Inan Li Murabathati Ahli al-Tujjar”. Pada badan inilah umat Islam terpancing untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan memulai hidup baru dengan spirit baru.

Hasyim Asy’ari dan Karya-karyanya
Selain aktif mengajar, berda’wah, dan berjuang, disebutkan pula oleh Kholil dalam bukunya yang berjudul “Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Dan Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan Sekarangbahwa Hasyim Asy’ari juga merupakan seorang ulama yang aktif menulis. Karya-karya yang ditulisnya banyak yang merupakan jawaban atas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang kurang memahami dengan benar persoalan tauhid atau aqidah, Hasyim Asy’ari lalu menyusun sebuah kitab tentang aqidah, di antaranya; al-Qalaid fi Bayani ma Yajibu min al-‘Aqaid, ar-Risalah al-tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawuf, dan sebagainya.
Selain itu Kholil (2013: 89) menyebutkan bahwa Hasyim Asy’ari juga sering menjadi kolumnis, khususnya majalah NU pada masa-masa awal. Biasanya, tulisannya berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah  fiqhiyah (hukum Islam) yang ditanyakan oleh masyarakat, seperti hukum memakai dasi pada waktu itu, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum merokok, dan lain-lain. Selain membahas masalah fiqhiyah, Hasyim Asy’ari juga menuliskan nasehat-nasehat bagi kaum muslimin, seperti al-Maw’idz, do’a-do’a untuk kalangan warga NU, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan sebagainya.
Kholil menyebutkan beberapa karya-karya dari Hasyim Asy’ari dalam bukunya yang berjudul “Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Dan Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan Sekarang”, diantaranya sebagai berikut:
a.    Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (kitab tentang etika yang harus dimiliki seorang guru dan murid. Kitab ini merupakan ikhtisar dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad ibn Sahnun (w. 256 H/ 871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin al-Zarnuji (w. 591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibn Jama’ah. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis dengan judul Etika Pendidikan Islam, diterbitkan tahun 2007 oleh penerbit Titian Wacana Press Yogyakarta).
b.   Ziyadatu Ta’liqat (kitab berisi bantahan Hasyim Asy’ari atas pernyataan Syekh Abdullah ibn Yasin Pasuruan yang dianggap mendiskreditkan orang-orang NU).
c.    At-Tanbihat al-Wajibat (kitab berisi penjelasan seputar praktek perayaan Maulid Nabi Saw).
d.   Ar-Risalah al-Jam’iah (kitab berisi ulasan tentang alam kematian, tanda-tanda hari kiamat, dan penjelasan seputar konsep sunnah dan bid’ah).
e.    An-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin (menjelaskan tentang hakikat mencintai Rasulullah Saw. serta beberapa hal menyangkut konsep itba’ (mengikuti) dan ihya (memelihara) terhadap sunnah-sunnahnya.
f.    Hasyiyatu ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarhi Risalati al-Waliy Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshori (kitab berisi penjelasan dan catatan-catatan beliau terhadap kitab Risalat al-Waliy Ruslan karya Syekh Zakariya al-Anshori).
g.   Ad-Durrar al-Muntatsirah fi al-Masail at-Tis’a ‘Asyarah (kitab yang mengulas 19 persoalan seputar tarekat dan hal-hal penting menyangkut para pelaku tarekat. Pada tahun 1970-an kitab ini pernah diterjemahkan oleh KH. Tholhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim dan diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus).
h.   At-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-Aqaribi wa al-Ikhwan ( kitab yang menjelaskan pentingnya memelihara silaturrahim dan bahaya memutus silaturahim).
i.     Al-Qalaid fi Bayani ma Yajibu min al-‘Aqaid (menjelaskan tentang aqidah-aqidah wajib dalam Islam).
j.     Dhau-ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah (kitab tentang tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam pernikahan).
k.   Arba’in Hadisan Tata’allaq bi Nabadi’ Jam’iyah Nahdhatul Ulama (kitab tentang 40 hadis Nabi terkait dasar-dasar pembentukkan Nahdhatul Ulama).
l.     Mawai’dz (berisi fatwa-fatwa dan nasehat bagi umat Islam).
m. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-Aimmah al-Arba’ah (kitab yang mejelaskan pentingnya berpedoman kepada imam madzhab).
n.   Muqaddimah al-Qanun al-Asasy li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (tentang prinsip-prinsip dasar atau landasan pokok organisasi Nahdhatul Ulama).

Refleksi
Hasyim Asy’ari telah mencontohkan dirinya sebagai figur yang terjun ke setiap lini kehidupan masyarakat demi mensyiarkan syiar Islam. Dengan pendidikan pesantren beliau ingin menghapus kebodohan, dengan organisasi koperasinya beliau ingin menyejahterahkan umat, dan dengan mengakui kemajemukan sebagai realitas sosial-budaya dan sosial-politik bangsa ini beliau ingin menunjukkan bahwa menjunjung persatuan dan kesatuan adalah ciri-ciri mencintai tanah air, adalah bagian dari keimanan. Inilah nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Islam.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan pesantren oleh hasyim Asy’ari, nampaknya memiliki tujuan yang mulia. Sebagaimana disebutkan oleh Muthohar (2007: 19) bahwa tujuan didirikannya pesantren bukan hanya menciptakan manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk manusia yang beriman, bertaqwa beretika, berestetika, mengikuti perkembangan masyarakat dan budaya, berpengetahuan, berketerampilan sehingga menjadi manusia yang paripurna dan berguna bagi masyarakat.
Melihat pemaparan diatas, rasanya tidak berlebihan jika menyebut Hasyim Asy’ari sebagai ulama sekaligus pejuang yang tangguh, dan beliau pun telah berhasil dalam mengoptimalkan fungsi ideal pesantren. Karena menurut Muthohar dalam bukunya yang berjudul “Ideologi Pendidikan Pesantren“ mengatakan bahwa terdapat tiga fungsi pesantren antara lain: lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan penyiaran agama. Dan Hasyim Asy’ari telah melakukan itu. Berangkat dari ketiga fungsi tersebut pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitar dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Hal ini menjadikan pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal dalam bidang moral keagamaan. Ketiga fungsi tadi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, namun fungsi sebagai lembaga pendidikan menjadi ujung tombak kehidupan pesantren.
Hasyim Asy’ari merupakan salah satu diantara para pahlawan yang telah mengisi panggung sejarah Indonesia ini dengan kerja keras, keringat, air mata dan darahnya. Dedikasi Hasyim Asy’ari untuk Indonesia telah banyak yang diberikan, bahkan dalam sejarahnya beliau pernah bersama-sama dengan para santrinya melawan penjajahan Belanda. Selanjutnya adalah giliran generasi Indonesia sekarang untuk terus berkontribusi untuk kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.





DAFTAR PUSTAKA

Irawan, A. (2012). Penakluk Badai, Novel Biografi Hasyim Asy'ari. (Didik, Ed.) Depok: Global Media Utama.
Kholil, M. (2013). Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Dan Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan Sekarang. Yogyakarta: Deepublish.
Muthohar. (2007). Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Noor, R. M. (2010). KH. Hasyim Asy'ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam. (H. Sucipto, Ed.) Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.


Sosok Mohammad Natsir



Sosok Mohammad Natsir
Oleh: Fajar Romadhon

            Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh Indonesia yang melegenda, sampai-sampai setelah satu abad dari kepergiannya, ada sekelompok orang yang menggelar acara “Peringatan Refleksi Seabad Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir”. Refleksi Seabad Pemikiran dan Perjuangan Mohammad  Natsir yang digelar melalui serangkaian serial seminar, pameran foto dan sebagainya telah dihimpun dalam sebuah buku yang berjudul “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik” terbitan Republika.
            Sebagai warga Negara Indonesia kita bangga telah memiliki tokoh seperti Mohammad Natsir. Karena, Mohammad Natsir tidak hanya dikenal di dalam negerinya melainkan di negeri orang pun beliau dikenal. Hal ini pernah dialami oleh Amien Rais saat mendatangi seminar Internasional: pertama, seminar perdamaian yang diadakan oleh Mu’tamar Alam Islam di Islamabad-Pakistan. Kedua, seminar antar agama di Casablanca-Maroko. Ketiga, seminar internasional di Kuala Lumpur-Malaysia. Ketika Amien Rais bertemu dengan berbagai delegasi dalam seminar-seminar tersebut, satu hal yang selalu ditanyakan kepada beliau oleh delegasi-delegasi seminar adalah: Bagaimana kabar M. Natsir? Dan biasanya diikuti dengan kata-kata “sampaikan salam saya padanya”.
Mohammad Natsir telah memberikan dedikasi terbaiknya untuk bangsa ini, yang terpenting adalah kita harus mewarisi semangat, pemikiran, perjuangan dan gelora yang pernah dimiliki oleh Mohammad Natsir. Karena pada hakekatnya pahlawan itu bukan untuk dikagumi, tetapi untuk diteladani. Generasi Indonesia sekarang layak mengetahui sepak terjang Mohammad Natsir. Mohammad Natsir merupakan tokoh pendidik, penulis produktif, cendekiawan, pendakwah, politisi-negarawan, pemikir, ulama dan pembela Islam. Secara umum kehidupnnya pun telah diserahkan sebagai pemandu umat.

Kiprah M. Natsir dalam Dakwah
            Sejarah Islam adalah sejarah amar ma’ruf nahi munkar atau dakwah, hal itulah yang senantiasa men-drive dan menjadikan Mohammad Natsir aktif dalam menyebarkan dakwah Islam. Karena beliau menyadari bahwa dengan dakwahlah Islam akan tersebar dan tersemai ke seluruh penjuru negeri. Sebagaimana dikatakan oleh Adian Husaini dalam bukunya yang berjudul “Virus liberalisme di perguruan tinggi” bahwa kiprah Mohammad Natsir dalam dakwah ditandai dengan aktifnya beliau di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Di sinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intelektual melalui tiga jalur strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi kaum intelektual. Tahun 1984, Natsir tercatat sebagai Ketua badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Dan beliau pun termasuk pelopor berdirinya berbagai pesantren tinggi (Ma’had ‘Aliy) di Indonesia. Selain itu, Mohammad Natsir pun aktif berdakwah melalui tulisan-tulisannya. Dan salah satu surat kabar yang menerbitkan tulisan-tulisan Natsir dan beliau pun bekerja di dalamnya adalah majalah Pembela Islam.
            Mohammad Natsir berdakwah dengan santun dan lemah lembut, hal ini dibuktikan dengan diterimanya beliau disemua lapisan masyarakat. Beliau bergaul dengan siapapun, dari kaum elitis sampai tingkat “grassroots”.
            Oleh karenanya tidak heran jika Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberikan kata pengantarnya pada buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik” mengatakan, Natsir menyebarkan syiar Islam dengan santun, bijak, damai dan penuh toleransi. Dengan cara seperti itu, syiar agama yang dilakukan akan membawa kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih terhormat dan beradab. Dengan sikap Natsir yang seperti itu, beliau dikenal di tanah air dan di mancanegara, sebagai seorang guru bangsa, pendidik umat, dan seorang alim.

Kiprah M. Natsir dalam Pendidikan
            Menurut Adian Husaini dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab” beliau mengatakan bahwa Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara dan sebagainya. Selain amat concern dengan nasib pendidikan rakyat jelata yang tak punya hak pendidikan di masanya, saat menjadi perdana menteri, salah satu prestasinya adalah keputusannya bersama menteri agama, Wahid Hasyim, untuk mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum.
            Kecintaan Mohammad Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada Sembilan kampus yang Mohammad Natsir berperan dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya.
            Sekaitan dengan pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa, Mohammad Natsir mengutip pendapat Dr. G.J. Nieuwenhus yang menyatakan, “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
            Meskipun memiliki latar belakang pendidikan Belanda (Barat) yang baik, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Bahkan, melalui tulisannya, Natsir senantiasa mengingatkan akan bahaya pendidikan Barat yang menjauhkan orang muslim dari agamanya sendiri. Bahkan, tak jarang, Natsir mengungkapkan fakta kaitan antara misi Kristen dengan program westrnisasi pendidikan (Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, 2012: 166).

Kiprah M. Natsir dalam Politik-Kenegaraan
            Kiprah Mohammad Natsir dalam politik-Kenegaraan, menurut Yusril Ihza Mahendra dalam buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik” adalah menyelamatkan NKRI dengan cara mempersatukan kembali Negara-negara bagian RIS yang dibentuk Van Mook ke dalam NKRI melalui “Mosi Integral” yang ditanda-tangani oleh semua ketua fraksi di dalam parlemen. Strategi Natsir yang elegan itu, oleh Moh. Roem disebut sebagai pengembalian ke NKRI dengan bermartabat dan menyenangkan. Ini karena proses pengembalian ke NKRI yang ditempuh Natsir sangat unik. Yaitu: bukan Negara-negara bagian yang menggabungkan diri dengan Republik Indonesia asli, tapi semua Negara bagian itu bersama-sama dibubarkan dan mereka bersama-sama mendirikan Negara kesatuan.
            Sabam Sirait mengatakan dalam buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik” bahwa sewaktu muda Mohammad Natsir banyak menulis dan memimpin penerbitan-penerbitan terutama majalah (literature) Islam. Natsir pernah menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota DPR, Badan pekerja KNIP (BK KNIP), pernah menjadi Menteri, bahkan menjadi Perdana menteri Republik Indonesia.
            Soekarno pernah memuji Natsir pada waktu Soekarno meminta Natsir menjadi formatur kabinet sekaligus Perdana Menteri RI, soekarno mengatakan, “Ya siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masjumi, mereka punya konsepsi menyelamatkan Republik melalui Konstitusi.”
            Ini hanya sekelumit tapak tilas sejarah dari sosok Mohammad Natsir, kiprah Mohammad Natsir dalam dakwah, politik, Negara, pendidikan dan sosial sangat banyak. Namun, penulis hanya ingin, dengan bacaan yang sedikit ini, para generasi muda Indonesia dapat terus menggali dan melanjutkan perjuangan yang pernah digoreskan oleh seorang Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia. Karena pahlawan itu bukan untuk dikagumi, tapi untuk diteladani dan diteruskan perjuangannya.




DAFTAR PUSTAKA

Husaini, A. (2012). Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. (N. Hidayat, Ed.) Depok: Cakrawala Publishing.
Husaini, A. (2009). Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. (I. Satria, Ed.) Depok: Gema Insani.
Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir. (2008). M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. (L. Hakiem, Ed.) Jakarta: Republika.
Rais, A. (2004). Hubungan Antara Politik dan Dakwah: Berguru Kepada M. Natsir. (L. Nihwan, Ed.) Bandung: Mujahid.



Kamis, 08 Januari 2015

Rekonstruksi Intelektualitas Perempuan Untuk Kemajuan Bangsa



Rekonstruksi Intelektualitas Perempuan Untuk Kemajuan Bangsa
Oleh: Fajar Romadhon

            Sebagaimana kita ketahui, menurut Koderi (1999: 49) bahwa sebelum Islam datang (zaman jahiliah) kedudukan kaum perempuan sangat direndahkan. Setelah agama Islam datang, diseimbangkan (dinaikan) derajatnya. Jika Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan ada yang sama dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya. Menurut ajaran Islam, pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk mengabdi kepada Allah. Dan dalam banyak hal, perempuan diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki. Namun, dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat perempuan, Islam menempatkan sesuai dengan kedudukannya.
Islam menghendaki agar perempuan berbuat dalam aktivitas sosial atau aktivitas kemanusiaan dan berpartisipasi aktif dalam membangun jati diri yang tangguh dan rabbaniah sebagai seorang muslimah. Bahkan menghendaki pula untuk berkontribusi dalam membangun peradaban bangsa Indonesia ini. Karena itu harus ada penataan ulang intelektualitas perempuan Islam Indonesia agar memiliki derajat yang tidak lagi dipandang rendah serta memiliki daya guna. Salah satu cara untuk merekonstruksi intelektualitas perempuan adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan dan memberi pelatihan-pelatihan khusus untuk kaum perempuan yang bersifat praktis untuk kemandiriannya.
            Perlunya upaya rekonstruksi intelektualitas perempuan-perempuan Indonesia, agar bangsa ini semakin maju dengan peran perempuan. Sebagaimana proyek menyebarluaskan kebajikan atau da’wah di berbagai sector tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, namun dapat dieksekusi pula oleh kaum perempuan. Sebagaimana Allah berfirman:
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)  menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar …” (QS. At-Taubah: 71).
Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip oleh Syuqqah (1997: 457) dikatakan bahwa dalam ayat ini terdapat dalil tentang wajibnya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar bagi laki-laki dan perempuan.
Berkaitan dengan peran perempuan, menurut Qazan (2001: 90) menyebutkan bahwa perempuan memiliki dua peran utama dalam masyarakat, diantaranya: Pertama, membentuk keluarga dan memeliharanya. Kedua, menjaga pilar utama masyarakat, yaitu moral yang peranan perempuan sangat penting di dalamnya. Bahkan pilar ini akan segera runtuh apabila kaum perempuan lemah.
Membangun bangsa Indonesia ini nampaknya harus dimulai dari rekonstruksi intelektualitas kaum perempuan sebagai ibu ataupun calon ibu. Intelektualitas dan pemahaman yang baik akan memberikan efek baik pula terhadap aktivitasnya, baik dalam bergaul dengan masyarakat, mengasuh anak dan membangun keluaraga. Sehingga yang diharapkan adalah munculnya kembali perempuan-perempuan luara biasa yang telah menyejarah. Seperti Dewi Sartika, Kartini, Rohana Kudus, Sultanah Safiatudin, Cut Nyak Dien dan sebagainya. Perempuan-perempuan yang telah menyejarah tadi pasti tidak lepas dari gemblengan dan didikan yang dilakukan oleh Ibu (orang tua) dan para gurunya. Kita tentunya merindukan para perempuan (Ibu) yang akan melahirkan banyak pahlawan. Itu semua dapat terwujud dengan rekonstruksi intelektualitas dan pembinaan yang intensif untuk kaum perempuan.
Bagi seorang anak, ibu adalah sosok yang dekat dengan makna kelembutan, kasih sayang, kedamaian, pengorbanan dan pengabdian yang tulus tanpa pamrih. Peran ibu sangat besar dalam mewarnai corak sebuah generasi. Wajar jika Islam mengatakan, “wanita adalah tiang negara”, di mana keberadaan dan peranannya akan menentukan kualitas sebuah bangsa. Bahkan, Islam menyematkan pujian yang tidak kepalang tanggung pada wanita dengan mengqiyaskan bahwa “surga dibawah telapak kaki ibu”. Demikian tinggi penghargaan Islam terhadap kaum ibu. Maka, muslimah mana yang tidak ingin berperan sebagai ibu yang baik, sementara kedudukan ini adalah yang paling ideal bagi seorang wanita (Muslikhati, 2004: 130).
            Perempuan berjasa dalam memelihara dan melestarikan kontinuitas produk ideologisnya yang merupakan inti universalitas Islam. Demikian pula kontinuitas produk pemikiran, peradaban, dan materinya. Perempuan sangat berjasa dalam bangunan dan produk moral yang merupakan batu fondasi bagi produk peradaban Islam sekaligus penentu antara ketegaran dan kehancurannya. Hal itu dilakukan dengan mencetak generasi pemimpin dan penguasa atau ulama yang terdidik dalam asuhan keluarga dan ibu-ibu yang akalnya sudah terformat sesuai dengan produk-produk aqidah rabbaniah dan peradaban Islam. Perempuan dengan keadaannya yang demikian akan menjadi mata air yang tak pernah kering membekali umat ini dengan kader-kader keimanan yang silih berganti. Barangkali inilah rahasianya, mengapa Islam menjadikan keluarga sebagai prioritas utama pembaharuannya, dan menjadikan reformasi akal perempuan sebagai agenda utama perubahannya (Qazan, 2001: 59).
            Peran utama wanita ini mempunyai andil yang besar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan kualitas generasi yang baik. Hal ini disebabkan keluarga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, adil kiranya kalau pihak kedua, yaitu suami, diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (mencari nafkah) dan memberikan perlindungan kepada si istri supaya dia bisa mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk penunaian tugas yang penting ini (Muslikhati, 2004: 130).
Setidak-tidaknya peranan strategis perempuan dalam menyukseskan pembangunan untuk kemajuan bangsa dapat dilakukan melalui:
1.      Peranan perempuan dalam keluarga, Perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
2.      Peranan perempuan dalam Pendidikan, Jumlah perempuan yang demikian besar merupakan aset dan problematika di bidang ketenaga kerjaan. Dengan mengelola potensi perempuan melalai bidang pendidikan dan pelatihan maka tenaga kerja perempuan akan semakin menempati posisi yang lebih terhormat untuk mampu mengangkat derajat bangsa.
3.      Peranan perempuan dalam bidang ekonomi, Pertumbuhan ekonomi akan memacu pertumbuhan industri dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kualitas hidup. Di sektor ini perempuan dapat membantu peningkatan ekonomi keluarga melalaui berbagai jalur baik kewirausahaan maupun sebagai tenaga kerja yang terdidik.
4.      Peranan perempuan dalam pelestarian lingkungan, Kerusakan lingkungan yang semakin parah karena proses industrialisasi maupun pembalakan liar perlu proses reboisasi dan perawatan lingkunga secara intensif. Dalam hal ini perempuan memiliki potensi yang besar untuk berperan serta dalam penataan dan pelestarian lingkungan.

Pada bagian akhir ini penulis ingin memaparkan substansi dari rekonstruksi intelektualitas yang dimaksudkan. Penulis mencoba mengelaborasi pemikiran Anis Matta dalam buku ”Delapan Mata Air Kecemerlangan”. Rekonstruksi intelektualitas perempuan yang diharapkan pada akhirnya akan membentuk kepribadian model manusia muslim yang utuh dan mempesona. Secara visi, misi, konsep diri, jalan hidup, dan nilai-nilai yang membentuk paradigma, mentalitas serta karakternya adalah bersumber dari kehendak-kehendak Allah (Al-Qur’an dan Sunnah).

Hal pertama yang harus direkonstruksi adalah afiliasi atau komitmen terhadap Islam sebagai basis identitas yang membentuk paradigma, mentalitas dan karakternya. Komitmen secara aqidah, yang menetapkan tujuan dan orientasi kehidupan. Komitmen secara ibadah, yang menentukan pola dan jalan kehidupan. Komitmen secara akhlak, yang menentukan pola sikap dan perilaku dalam seluruh aspek kehidupan.

Setelah proses pembentukan kepribadian melalui tahap afiliasi, maka tahap selanjutnya adalah partisipasi. Pada tahap inilah seorang muslim diharuskan untuk melebur dan bersinergi dengan masyarakat untuk mendistribusikan keshalihannya. Partisipasi yang dimaksud adalah komitmen untuk mendukung semua proyek kebajikan dan melawan semua proyek kemunkaran. Komitmen untuk selalu menjadi faktor pemberi atau pembawa manfaat dalam masyarakat. Dan komitmen untuk selalu menjadi faktor perekat masyarakat dan pencegah disintegrasi sosial.

Tahap rekonstruksi terakhir adalah kontribusi, dimana seorang muslim telah terintegrasi dengan komunitas dan lingkungannya (keluarga, pmasyarakat, dan perusahaan/ kantor) dan berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas hidupnya. Hal yang dilakukan dalam tahap kontribusi ini menurut Matta (2011: 11) adalah dengan cara menajamkan posisi dan perannya, sesuatu yang kemudian menjadi spesialisasinya, agar ia lebih tepat dan sesuai dengan kompetensinya. Dengan cara itulah seorang muslim dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya, dan menyiapkan sebuah ”amal unggulan” atau karya terbesar dalam hidupnya.



DAFTAR PUSTAKA

Koderi, M. (1999). Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara. (D. Irfan, Ed.) Jakarta: Gema Insani Press.
Matta, A. (2011). Delapan Mata Air Kecemerlangan. Jakarta: Tarbawi Press.
Muslikhati, S. (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. (A. A. Hanifah, Ed.) Jakarta: Gema Insani.
Qazan, S. (2001). Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. (Jasiman, Rini, Fitri, Eds., & K. A. Fakih, Trans.) Solo: Era Intermedia.

Syuqqah, A. H. (1997). Kebebasan Wanita (Vol. 2). (E. Erinawati, Ed., & C. Halim, Trans.) Jakarta: Gema Insani Press.

Sabtu, 03 Januari 2015

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia



Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Oleh: Fajar Romadhon

Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat kompleks, terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam. Oleh karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Harus diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran Islam, di samping usaha para sarjana Muslim yang ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur (Sunanto, 2012: 7).     
            Menurut Suryanegara bahwa ada beberapa teori yang membahas terkait awal mula masuknya Islam di Indonesia. Teori-teori ini mencoba memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara dengan perbedaan pendapatnya: Pertama, mengenai waktu masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
          Berikut akan dipaparkan terkait teori masuknya Islam di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
            Pertama, teori Gujarat. Menurut Suryanegara (1996: 75) bahwa peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’ Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious.” Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
            Suryanegara (1996: 75-76) mengutip pendapat W.F. Stutterheim dalam bukunya “De Islam en Zijn Komst In de Archipel” yang menyatakan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 13. Pendapatnya juga di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik As-Saleh yang wafat pada 1297. Selanjutnya ditambahkan tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya agama Islam ke Nusantara adalah Gujarat. Dengan alasan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambay (Gujarat)- Timur Tengah-Eropa. Sama halnya dengan pendapat W.F. Stutterheim, Snouck Hurgronje berpendapat pula bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 13 M dari Gujarat.
            Kedua, teori Makkah. Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh Sunanto (2012: 8-9) dalam bukunya bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (kurang lebih abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulia jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasi Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Senada dengan Suryanegara dalam Api Sejarah (2012: 99) sebagaimana mengutip pendapat Hamka bahwa masuknya Islam ke Nusantara Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam berita Cina Dinasti Tang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai Barat Sumatera maka dapat disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab. Dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan kesultanan Samudera Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.
            Menurut Matta (2014: 34) dalam bukunya “gelombang ketiga Indonesia” mengatakan bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang masuknya Islam di Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini dibawah oleh pedagang dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad ke-8 telah berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya, Sumatera (dan Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para pedagang Arab menuju Tiongkok dan Jawa. Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara, disusul berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-15. Awalnya, Raden Fatah adalah wakil kerajaan Majapahit di daerah itu yang kemudian dia memutuskan masuk Islam dan mendirikan kerajaan sendiri.
            J.C. Van Leur dalam bukunya “Indonesia: Trade and Society” menyatakan bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. Dari keterangan J.C. Van Leur ini masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan Islam (Suryanegara, 1996: 76).
            Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia mendukung “teori Arab” dan mazhab tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12 atau ke-13 M. (Huda, 2007: 36).
            Ketiga, Teori Persia. Menurut Suryanegara (1996: 90) bahwa pembangunan teori Persia ini di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.
            Menurut Suryanegara kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
            Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab (Suryanegara, 1996: 90).
            Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/ 922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya (Suryanegara, 1996: 90).
            Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal:
Bahasa Iran
Bahasa Arab
Jabar- Zabar
Fathah
Jer- Ze-er
Kasrah
P’es- Py’es
Dhammah

            Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat (Suryanegara, 1996: 91).
            Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafi’i, Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka di depan Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam di Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat mazhab Syafi’i di Makkah (Suryanegara, 1996: 91).
            Sunanto (2012: 10-12) menyebutkan beberapa saluran-saluran yang menjadi media tersebarnya Islam di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
a.    Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b.    Da’wah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubaligh itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
c.    Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
d.   Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan da’wah Islam di kerajaan Samudera Pasai berperan sebagai pusat da’wah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubaligh lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu Kahfi; Maulana Hasanudiidn yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak menjadi Sunan Banten pertama.
e.    Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdul Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
f.     Kesenian. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk Islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyayian, dan seni busana.
Menurut Huda (2007: 39) dengan beberapa perbedaan tentang Islamisasi tersebut, haruslah diupayakan sintesis dari beberapa pendapat yang ada. Di antara upaya itu adalah dengan membuat fase-fase atau tahapan tentang Islamisasi di Indonesia, seperti tahap permulaan kedatangan yang terjadi pada abad ke-7 M. Adapun pada abad ke-13 M, dipandang sebagai proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Para pembawa Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-13 tersebut adalah orang-orang Muslim Arab, Persia dan India (Gujarat, Bengal). Hal serupa juga dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa sebelum abad ke-13 merupakan tahap proses Islamisasi. Abad ke-13 itu sendiri dipandang sebagai masa pertumbuhan Islam sebagai kerajaan bercorak Islam yang pertama di Indonesia.


DAFTRA PUSTAKA

Huda, N. (2007). Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam Di Indonesia. (A. Q. Shaleh, Ed.) Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Matta, A. (2014). Gelombang Ketiga Indonesia. (D. Krismatono, Ed.) Jakarta: The Future Institute.
Sunanto, M. (2012). Sejarah Peradaban Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Suryanegara, A. M. (1996). Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (R. T. Hidayat, Ed.) Bandung: Mizan.
Suryanegara, A. M. (2012). Api Sejarah (Vol. 1). (A. Sahidin, Ed.) Bandung: Salamadani.


Sosok KH. Hasyim Asy'ari