Rekonstruksi Intelektualitas Perempuan Untuk Kemajuan Bangsa
Oleh: Fajar Romadhon
Sebagaimana
kita ketahui, menurut Koderi (1999: 49) bahwa sebelum Islam datang (zaman
jahiliah) kedudukan kaum perempuan sangat direndahkan. Setelah agama Islam
datang, diseimbangkan (dinaikan) derajatnya. Jika Islam menetapkan hak dan kewajiban
bagi laki-laki maupun perempuan ada yang sama dan ada yang berbeda, itu tidak
mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya. Menurut ajaran Islam,
pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk mengabdi
kepada Allah. Dan dalam banyak hal, perempuan diberikan hak dan kewajiban serta
kesempatan yang sama dengan laki-laki. Namun, dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kodrat dan martabat perempuan, Islam menempatkan sesuai dengan
kedudukannya.
Islam menghendaki agar perempuan berbuat dalam
aktivitas sosial atau aktivitas kemanusiaan dan berpartisipasi aktif dalam
membangun jati diri yang tangguh dan rabbaniah sebagai seorang muslimah.
Bahkan menghendaki pula untuk berkontribusi dalam membangun
peradaban bangsa Indonesia ini. Karena itu harus ada penataan ulang intelektualitas perempuan
Islam Indonesia agar memiliki derajat yang tidak lagi dipandang
rendah serta memiliki daya guna. Salah satu cara untuk merekonstruksi
intelektualitas perempuan adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan dan
memberi pelatihan-pelatihan khusus untuk kaum perempuan yang bersifat praktis
untuk kemandiriannya.
Perlunya upaya
rekonstruksi intelektualitas perempuan-perempuan Indonesia, agar bangsa ini
semakin maju dengan peran perempuan. Sebagaimana proyek menyebarluaskan
kebajikan atau da’wah di berbagai sector tidak hanya dilakukan oleh kaum
laki-laki, namun dapat dieksekusi pula oleh kaum perempuan. Sebagaimana Allah
berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar …” (QS. At-Taubah: 71).
Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip oleh Syuqqah (1997: 457) dikatakan bahwa dalam ayat ini terdapat dalil
tentang wajibnya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar bagi laki-laki dan
perempuan.
Berkaitan dengan peran perempuan, menurut Qazan (2001: 90) menyebutkan bahwa perempuan memiliki dua
peran utama dalam masyarakat, diantaranya: Pertama, membentuk keluarga
dan memeliharanya. Kedua, menjaga pilar utama masyarakat, yaitu moral
yang peranan perempuan sangat penting di dalamnya. Bahkan pilar ini akan segera
runtuh apabila kaum perempuan lemah.
Membangun bangsa Indonesia ini nampaknya harus
dimulai dari rekonstruksi intelektualitas kaum perempuan sebagai ibu ataupun
calon ibu. Intelektualitas dan pemahaman yang baik akan memberikan efek baik
pula terhadap aktivitasnya, baik dalam bergaul dengan masyarakat, mengasuh anak
dan membangun keluaraga. Sehingga yang diharapkan adalah munculnya kembali
perempuan-perempuan luara biasa yang telah menyejarah. Seperti Dewi Sartika,
Kartini, Rohana Kudus, Sultanah Safiatudin, Cut Nyak Dien dan sebagainya. Perempuan-perempuan
yang telah menyejarah tadi pasti tidak lepas dari gemblengan dan didikan yang
dilakukan oleh Ibu (orang tua) dan para gurunya. Kita tentunya merindukan para
perempuan (Ibu) yang akan melahirkan banyak pahlawan. Itu semua dapat terwujud
dengan rekonstruksi intelektualitas dan pembinaan yang intensif untuk kaum
perempuan.
Bagi seorang anak, ibu adalah sosok yang dekat
dengan makna kelembutan, kasih sayang, kedamaian, pengorbanan dan pengabdian
yang tulus tanpa pamrih. Peran ibu sangat besar dalam mewarnai corak sebuah
generasi. Wajar jika Islam mengatakan, “wanita adalah tiang negara”, di
mana keberadaan dan peranannya akan menentukan kualitas sebuah bangsa. Bahkan,
Islam menyematkan pujian yang tidak kepalang tanggung pada wanita dengan
mengqiyaskan bahwa “surga dibawah telapak kaki ibu”. Demikian tinggi
penghargaan Islam terhadap kaum ibu. Maka, muslimah mana yang tidak ingin
berperan sebagai ibu yang baik, sementara kedudukan ini adalah yang paling
ideal bagi seorang wanita (Muslikhati, 2004: 130).
Perempuan
berjasa dalam memelihara dan melestarikan kontinuitas produk ideologisnya yang
merupakan inti universalitas Islam. Demikian pula kontinuitas produk pemikiran,
peradaban, dan materinya. Perempuan sangat berjasa dalam bangunan dan produk
moral yang merupakan batu fondasi bagi produk peradaban Islam sekaligus penentu
antara ketegaran dan kehancurannya. Hal itu dilakukan dengan mencetak generasi
pemimpin dan penguasa atau ulama yang terdidik dalam asuhan keluarga dan
ibu-ibu yang akalnya sudah terformat sesuai dengan produk-produk aqidah rabbaniah
dan peradaban Islam. Perempuan dengan keadaannya yang demikian akan menjadi
mata air yang tak pernah kering membekali umat ini dengan kader-kader keimanan
yang silih berganti. Barangkali inilah rahasianya, mengapa Islam menjadikan
keluarga sebagai prioritas utama pembaharuannya, dan menjadikan reformasi akal
perempuan sebagai agenda utama perubahannya (Qazan,
2001: 59).
Peran utama wanita ini mempunyai andil yang besar bagi terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan kualitas generasi yang baik. Hal ini
disebabkan keluarga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, adil kiranya kalau pihak kedua, yaitu suami,
diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (mencari nafkah) dan memberikan
perlindungan kepada si istri supaya dia bisa mencurahkan tenaga dan perhatiannya
untuk penunaian tugas yang penting ini (Muslikhati, 2004: 130).
Setidak-tidaknya peranan strategis perempuan dalam menyukseskan
pembangunan untuk kemajuan bangsa dapat dilakukan melalui:
1. Peranan perempuan dalam keluarga, Perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam
memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Peranan perempuan dalam Pendidikan, Jumlah perempuan yang demikian besar merupakan
aset dan problematika di bidang ketenaga kerjaan. Dengan mengelola potensi
perempuan melalai bidang pendidikan dan pelatihan maka tenaga kerja perempuan
akan semakin menempati posisi yang lebih terhormat untuk mampu mengangkat
derajat bangsa.
3. Peranan perempuan dalam bidang ekonomi, Pertumbuhan
ekonomi akan memacu pertumbuhan industri dan peningkatan pemenuhan kebutuhan
dan kualitas hidup. Di sektor ini perempuan dapat membantu peningkatan ekonomi
keluarga melalaui berbagai jalur baik kewirausahaan maupun sebagai tenaga kerja
yang terdidik.
4. Peranan perempuan dalam pelestarian lingkungan, Kerusakan
lingkungan yang semakin parah karena proses industrialisasi maupun pembalakan
liar perlu proses reboisasi dan perawatan lingkunga secara intensif. Dalam hal
ini perempuan memiliki potensi yang besar untuk berperan serta dalam penataan
dan pelestarian lingkungan.
Pada bagian akhir ini penulis ingin memaparkan
substansi dari rekonstruksi intelektualitas yang dimaksudkan. Penulis mencoba
mengelaborasi pemikiran Anis Matta dalam buku ”Delapan Mata Air Kecemerlangan”.
Rekonstruksi intelektualitas perempuan yang diharapkan pada akhirnya akan
membentuk kepribadian model manusia muslim yang utuh dan mempesona. Secara
visi, misi, konsep diri, jalan hidup, dan nilai-nilai yang membentuk paradigma,
mentalitas serta karakternya adalah bersumber dari kehendak-kehendak Allah
(Al-Qur’an dan Sunnah).
Hal pertama yang harus direkonstruksi adalah
afiliasi atau komitmen terhadap Islam sebagai basis identitas yang membentuk
paradigma, mentalitas dan karakternya. Komitmen secara aqidah, yang menetapkan
tujuan dan orientasi kehidupan. Komitmen secara ibadah, yang menentukan pola
dan jalan kehidupan. Komitmen secara akhlak, yang menentukan pola sikap dan
perilaku dalam seluruh aspek kehidupan.
Setelah proses pembentukan kepribadian melalui
tahap afiliasi, maka tahap selanjutnya adalah partisipasi. Pada tahap inilah
seorang muslim diharuskan untuk melebur dan bersinergi dengan masyarakat untuk
mendistribusikan keshalihannya. Partisipasi yang dimaksud adalah komitmen untuk
mendukung semua proyek kebajikan dan melawan semua proyek kemunkaran. Komitmen
untuk selalu menjadi faktor pemberi atau pembawa manfaat dalam masyarakat. Dan
komitmen untuk selalu menjadi faktor perekat masyarakat dan pencegah
disintegrasi sosial.
Tahap rekonstruksi terakhir adalah kontribusi,
dimana seorang muslim telah terintegrasi dengan komunitas dan lingkungannya
(keluarga, pmasyarakat, dan perusahaan/ kantor) dan berusaha meningkatkan
efisiensi dan efektifitas hidupnya. Hal yang dilakukan dalam tahap kontribusi
ini menurut Matta (2011: 11) adalah dengan cara
menajamkan posisi dan perannya, sesuatu yang kemudian menjadi spesialisasinya,
agar ia lebih tepat dan sesuai dengan kompetensinya. Dengan cara itulah seorang
muslim dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya, dan menyiapkan sebuah
”amal unggulan” atau karya terbesar dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Koderi, M. (1999). Bolehkah Wanita Menjadi Imam
Negara. (D. Irfan, Ed.) Jakarta: Gema Insani Press.
Matta, A. (2011). Delapan Mata Air Kecemerlangan. Jakarta: Tarbawi
Press.
Muslikhati, S. (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. (A. A. Hanifah, Ed.) Jakarta: Gema Insani.
Qazan, S. (2001). Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan.
(Jasiman, Rini, Fitri, Eds., & K. A. Fakih, Trans.) Solo: Era Intermedia.
Syuqqah, A. H. (1997). Kebebasan Wanita (Vol. 2). (E. Erinawati,
Ed., & C. Halim, Trans.) Jakarta: Gema Insani Press.
keren pak, lanjutkan :D
BalasHapus